OPINI - Tulisan ini berangkat dari pemikiran Ruchir Sharma, Chairman Rockefeller International sekaligus anggota Dewan Penasihat Ekonomi Nasional Amerika Serikat, yang disampaikan dalam sebuah wawancara di podcast channel Prof. Rhenald Kasali. Sharma adalah penasehat keuangan peringkat 6 dunia yang paling didengarkan di dunia.
Dalam perbincangan itu, Sharma menyoroti kondisi ekonomi Indonesia dengan analisis tajam: pertumbuhan lima persen yang selama ini dibanggakan pemerintah lebih mirip ilusi ketimbang kenyataan. Kritik ini bukan sekadar retorika, melainkan refleksi panjang dari seorang investor global yang puluhan tahun mengamati naik-turunnya perekonomian negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sharma menyoroti kontradiksi yang paling nyata: jika ekonomi benar-benar tumbuh lima persen, seharusnya aktivitas sektor riil menunjukkan vitalitas. Namun, indikator-indikator kunci justru stagnan atau bahkan merosot. Penjualan mobil menurun, konsumsi semen tak bergerak, dan pasar modal Indonesia termasuk yang paling lesu di dunia.
Ironisnya, Malaysia yang jumlah penduduknya hanya seperdelapan Indonesia mampu menjual mobil lebih banyak. Perbandingan sederhana ini menggambarkan bahwa pertumbuhan lima persen di atas kertas tidak terpantul dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh, Sharma memperingatkan dampak dari 'China Shock". Indonesia menjadi pasar terbuka bagi produk murah Tiongkok, sementara industri domestik tertekan. Arus barang impor yang deras memang memberi konsumen harga lebih rendah, tetapi di sisi lain mematikan daya saing manufaktur lokal. Buruh pabrik kehilangan pekerjaan, dan proses de-industrialisasi dini kian nyata.
Indonesia yang seharusnya bisa menjadi alternatif relokasi industri global dalam strategi China plus one, justru tertinggal oleh Vietnam, India, bahkan Meksiko.
Bagi Sharma, akar persoalan terletak pada arah kebijakan fiskal. Belanja negara terlalu dominan pada subsidi dan bantuan sosial, sementara investasi produktif di infrastruktur, riset, dan manufaktur tidak mendapatkan prioritas yang semestinya.
Pola ini mirip dengan kesalahan yang dilakukan Brasil dan Meksiko—negara-negara yang terjebak stagnasi pertumbuhan menengah karena terbuai populisme dan gagal membangun basis industri kuat.
Sebaliknya, sejarah pembangunan Asia Timur memberikan pelajaran jelas: China, Korea Selatan, dan Taiwan rela menunda belanja sosial di tahap awal demi memperkuat mesin pertumbuhan jangka panjang.
“𝑃𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑙𝑖𝑚𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑏𝑎𝑠𝑖𝑠 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑙𝑢𝑠𝑖, ” 𝑡𝑒𝑔𝑎𝑠 𝑆ℎ𝑎𝑟𝑚𝑎.
Sharma juga menempatkan persoalan ini dalam konteks global. Menurutnya, kapitalisme di banyak negara kini tengah mengalami distorsi. Amerika Serikat sendiri, negara dengan ekonomi terbesar, sedang terseret paradoks: utang negara membengkak, defisit fiskal melebar, namun pemerintah tetap boros dengan bailout dan stimulus.
Kapitalisme berubah menjadi “sosialisme untuk kaum kaya”, di mana keuntungan diprivatisasi, sementara kerugian disosialisasikan. Indonesia, kata Sharma, harus berhati-hati agar tidak meniru jalan yang sama.
Kritik Sharma seyogyanya menjadi peringatan dini bagi Indonesia. Pertumbuhan lima persen memang memberikan rasa aman, tetapi rasa aman semu sering kali lebih berbahaya daripada guncangan nyata.
Tanpa perbaikan fundamental—deregulasi, efisiensi birokrasi, pergeseran belanja negara ke sektor produktif, dan keberanian menata ulang strategi industrialisasi—angka lima persen itu hanya akan meninabobokan.
Indonesia kini berada di persimpangan yang menentukan. Jalan keluar bukanlah sekadar mempertahankan angka pertumbuhan, tetapi menata ulang arah pembangunan. Hilirisasi sumber daya alam harus diikuti dengan pembangunan rantai pasok industri yang nyata, bukan sekadar ekspor bahan setengah jadi.
Reformasi fiskal perlu dilakukan untuk memperbesar ruang investasi produktif, bukan menambah ketergantungan pada subsidi. Digitalisasi bisa menjadi motor baru, tetapi tanpa infrastruktur keras—jalan, pelabuhan, energi—ia tidak akan mampu menopang pertumbuhan jangka panjang.
Sharma menutup pesannya di podcast tersebut dengan refleksi sederhana: bangsa yang berhasil bukanlah yang terpesona oleh statistik, melainkan yang berani menempuh reformasi sebelum dipaksa oleh krisis. Indonesia masih punya kesempatan itu, asalkan mau melepaskan diri dari sekedar angka-angka statistik, dan menatap masa depan dengan keberanian serta kerja nyata.
𝐀𝐧𝐚𝐥𝐢𝐬𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬
Apa yang disampaikan Ruchir Sharma harus dibaca sebagai cermin. indonesia jangan terlena dengan pertumbuhan lima persen (terlepas itu real atau ilusi), seolah-olah pertumbuhan moderat itu cukup. Padahal, dengan jumlah penduduk yang besar dan bonus demografi yang segera menua, angka lima persen tidak akan pernah membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Ada tiga langkah penting yang harus segera dilakukan.
Pertama, menggeser orientasi fiskal dari belanja populis menuju investasi jangka panjang. Pemerintah harus berani memangkas subsidi konsumtif dan mengalihkan ke pendidikan, kesehatan produktif, riset, dan infrastruktur.
Kedua, membangun ekosistem industri yang benar-benar menopang hilirisasi. Tanpa industri manufaktur yang kuat, hilirisasi hanya akan berhenti pada penjualan barang setengah jadi, tanpa nilai tambah besar.
Ketiga, melakukan reformasi institusional agar birokrasi tidak lagi menjadi beban, melainkan motor penggerak pertumbuhan.
Indonesia punya modal besar: pasar domestik yang luas, sumber daya alam yang kaya, dan populasi muda yang dinamis. Namun modal ini bisa menjadi beban bila tidak dikelola dengan arah yang jelas. Karena itu, pertumbuhan lima persen bukanlah prestasi, melainkan alarm. Alarm yang mengingatkan bahwa jika kita tidak berbenah hari ini, esok mungkin sudah terlambat.
Oleh: Indra Gusnady, SE, M.Si
Sumber: Podcast Rhenald Kasali, wawancara dengan Ruchir Sharma, Chairman Rockefeller International / National Economic Council AS.
YouTube: https://youtu.be/7vXrClOnGok