JAKARTA-Tragedi yang menewaskan pengemudi ojek online (ojol) dalam aksi protes penolakan sejumlah kebijakan yang dinilai tidak berpihak masyarakat di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) beberapa waktu lalu harus disekapi dengan jernih.
“Tragedi yang menewaskan salah satu pengemudi ojek online (ojol) menambah luka bagi masyarkat akibat kebijakan yang tidak berpihak masyarakat dan rakyat dan polisi bukanlah musuh, melainkan sama-sama jadi korban, "ujar Erikson Ginting, Senin 01 September 2025.
Erikson Ginting menyampaikan, bahwa rakyat memilih dewan perwakilan rakyat dengan harapan diperjuangkan kebutuhan masyarakat, Sementara polisi tidak pernah memilih dewan perwakilan rakyat justru harus pasang badan hingga terjadi bentrokan dengan demonstrasi
Sementara para elit politik yang diduga masih bersandiwara di kursi empuknya dan sebagian oknum anggota dewan perwakilan rakyat, baik di tingkat daerah mupun pusat masih bisa tertidur nyayak di rumah megahnya sedangkan aparat harus rela begadang untuk menjaga keamanan masyarakat
Tragedi yang telah mempertemukan rakyat sipil dengan aparat kepolisian membuka luka lama negeri ini. Kita sering terjebak pada narasi seolah-olah rakyat dan polisi adalah musuh abadi, namun realitasnya dan faktanya tidak seperti itu
Polisi bukanlah pembuat undang-undang. Mereka tidak pernah duduk di kursi dewan perwakilan rakyat dan juga tidak pernah ikut memilih wakil rakyat yang kini berkuasa membuat aturan yang sering tidak berpihak kepada rakyat dan polisi hanya menjalankan tugas pengamanan,
Rakyat pun demikian. Mereka memilih wakil rakyat dengan harapan aspirasi dan kebutuhan hidupnya diperjuangkan. Namun ketika kepentingan segelintir elite lebih diutamakan, rakyat merasa dikhianati. Maka demonstrasi menjadi jalan terakhir untuk bersuara.
Ironisnya, suara itu justru terhalang oleh barikade polisi yang juga rakyat biasa dan sama-sama mencari nafkah untuk keluarga. Di sinilah letak ironi demokrasi kita. Rakyat dan polisi saling berhadapan dan saling terluka dalam beberapa aksi demontrasi yang terjadi di negara ini.
Padahal musuh sesungguhnya bukanlah rakyat melawan polisi, melainkan rakyat dan polisi sama-sama menjadi korban dari sistem politik yang pincang akibat kebijakan-kebijakan para elit politik dan pejabat-pejabat tinggi di Negara Republik Indonesia
Seharusnya DPR yang dipilih rakyat sadar, setiap kebijakan yang mereka tetapkan akan berujung pada benturan di jalan. Polisi akan tetap berada di garis depan, meski mereka tidak pernah memilih DPR. Dan rakyat akan tetap jadi sasaran, meski mereka memilih dengan harapan yang kini dikhianati.
Demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi aspirasi rakyat, kini berubah menjadi demokrasi transaksional yang menjadikan polisi dan rakyat sebagai korban tak berdosa di papan catur kekuasaan para elit
Jika terus begini, tragedi serupa hanya akan berulang. Saatnya kita berhenti melihat polisi dan rakyat sebagai musuh. Karena keduanya sejatinya saudara senasib: pion kecil yang dikorbankan demi kepentingan para pemain besar di balik layar, ”kata Erikson Ginting
Ia mempertanyakan komitmen pemerintah dan DPR terhadap pemberantasan korupsi dengan masih abu-abunya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Padahal RUU ini sangat penting sebagai instrumen hukum untuk pemberantasan korupsi di Indonesia.
Untuk itu, ia mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset ini menjadi UU. Melalui aturan itu, negara dapat merampas aset yang berasal dari tindak pidana yang merugikan keuangan negara tanpa menunggu pembuktian perbuatan pidananya.
“Kenapa RUU perampasan Aset ini harus segera disahkan, Karena RUU Perampasan Aset instrumen memudahkan aparat penegak hukum dalam menegakkan keadilan dan mendukung agenda pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi di tanah air,
Namun jika Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tidak segera mengesahkan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, berarti seluruhanya takut hartanya diambil oleh negera, ”ucapnya sembari bertanya Ada apa??