OPINI - DPR RI diprotes, lantaran memberikan tunjangan perumahan. Berapa besarannya? 50 juta perbulan. Besar sekali. Apalagi di tengah krisi ekonomi saat ini. Pakai joget-joget lagi.
Rakyat kesel. Protes, lalu jarah rumah anggota DPR. Khususnya anggota DPR yang omongannya gak enak didengar. Tapi, anggota DPR yang joget-joget itu, aman.
Tapi, anda mesti juga tahu. Tunjangan perumahan anggota DPR RI, kalah besar dengan anggota DPRD DKI. Tunjangan perumahan anggota DPRD DKI itu 70, 4 jita perbulan. Khusus pimpinan, 78, 8 juta perbulan. Besaran mana? DPR RI atau DPRD DKI.
Modal kecil, tunjangan rumahnya lebih besar. Enak ya... padahal, mereka sama-sama hidup di Jakarta.
Tahun 2015, Ahok menaikkan tunjangan DPRD DKI dari 15 juta menjadi 30 juta. Seratus persen. Tahun berikutnya yaitu 2016, Ahok menaikkan lagi tunjangan perumhan untuk DPRD Jakarta dari 30 juta menjadi 60 juta. 100 persen lagi. 2017 Ahok kalah pilgub dan digantikan Anies. Jedah sebentar masa Djarot Syaeful Hidayat, lalu dijabat Syaefullah hanya semalam sebelum digantikan Anies Baswedan.
Di masa Anies Baswedan sejak tahun 2017, tidak ada lagi da kenaikan tunjangan perumahan untuk DPRD Jakarta. Hingga tahun 2022, di ujung jabatannya, Anies menaikkannya dari 60 juta jadi 70 jita. Naik 17 persen setelah lima tahun.
Sebenarnya, rakyat marah kepada DPR RI itu karena tunjangan perumahan, atau karena omongan DPR yang gak enak? Atau karena joget-jogetnya? Ini pertanyaan ringan, tapi jawabannya akan membawa konsekuensi yang serius.
Kalau marah karena omongan dan joget-jogetnya anggota DPR, ini emosional. Ini tidak substantif dan tidak menyelesaikan masalah. Tapi, kalau marahnya karena DPR tidak peka terhadap rakyat yang sedang kelaparan dengan memberi dan menaikkan tunjangan perumahan seenaknya, ini baru substantif. Protes yang substantif dapat memicu perubahan yang rasional.
Kemarahan atas sesuatu yang substansial mesti membuka ruang evaluasi terhadap seluruh anggaran untuk DPR plus kinerjanya. Termasuk anggaran tujuh kali reses, anggaran untuk rapat, anggaran sah dan tidak sah, juga kinerja anggota DPR. Semua mesti dievaluasi. Tidak hanya berhenti di tunjungan perumahan.
Yang harus dipahami oleh rakyat, bahwa ukuran ketidak-pekaan bukan hanya pada kenaikan tunjangan perumahan, banyak peredaran uang di DPR yang jauh lebih menunjukkan ketidak-pekaan dari sekedar tunjungan perumahan. Tunjungan perumahan itu kecil saja dibanding pendapatan anggota DPR lainnya. Pendapatan legal maupun ilegal. Pendapatan halal maupun haram.
Soal pendapatan haram ini sudah pernah dibuka oleh Zulfikar Arse Sadikin, seorang anggota DPR RI dari fraksi Golkar. Dia bilang: "sulit cari uang halal sebagai anggota DPR" (12/8). Kenapa terhadap masalah pokok dan fundamental seperti yang dikatakan Zulfikar ini, rakyat relatif cuek dan tidak serius merespon?
Mestinya fokus rakyat itu bukan di joget-jogetnya dan narasi anggota DPR. Tapi lebih ke seluruh praktek penganggaran dan semua permaiannya di DPR. Ini lebih substantif, teridentifikasi secara komprehensif, kemudian dibongkar dan menjadi protes kolektif dalam demo.
Kalau protesnya substantif, kenapa kemarahan rakyat hanya kepada DPR RI saja? Kenapa tidak juga ke DPRD DKI yang angkanya lebih besar? Ini juga jadi pertanyaan serius. Bukankah tunjangan perumhan anggota DPRD DKI paling besar diantara anggota legislatif di seluruh Indonesia?
Pimpinan DPR RI berjanji akan membatalkan kenaikan tunjangan perumahan yang nilainya 50 juta. Sementara tunjuang perumahan DPRD DKI 70, 4 juta, aman dan tenang-tenang saja.
Jakarta, 5 September 2025
Tony Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa