Kepala Daerah Baru dan Dilema Reformasi Birokrasi: Solusi Legal Penggantian JPT Pratama

2 months ago 24

OPINI -   Tak sedikit kepala daerah baru yang merasakan kegelisahan begitu resmi menjabat. Mereka datang dengan semangat perubahan, membawa visi pembangunan yang berbeda dari pendahulunya, namun kerap menemui tembok birokrasi yang kaku.

Salah satu dilema yang mencuat adalah soal pejabat pimpinan tinggi pratama (JPT Pratama) yang tidak bisa serta-merta diganti, meskipun dianggap tidak sejalan dengan arah kebijakan baru. Ada kesan Kepala Daerah tersandera oleh kondisi yang ada.

"Saya ingin percepatan, tetapi bagaimana mungkin bisa kalau orang-orang di jajaran atas tidak mendukung arah kebijakan saya?" ujar salah satu kepala daerah yang dikutip dari pemberitaan Kompas.com (2024).

Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, yang menyatakan dalam wawancara dengan CNN Indonesia (2023), bahwa perubahan birokrasi tidak hanya soal struktur, tapi juga soal semangat dan kultur kerja. "Kami butuh orang-orang yang punya semangat sama, yang cepat merespons, bukan sekadar mengisi jabatan, " tegasnya.

Kegelisahan ini sah dan masuk akal. Kepala daerah pada akhirnya adalah manajer utama pemerintahan daerah. Ia dituntut untuk menyusun strategi, memastikan pelaksanaan program, serta merespons kebutuhan masyarakat. Tapi bagaimana itu bisa dilakukan bila orang-orang yang berada di jabatan strategis justru lambat, pasif, atau bahkan tidak mendukung?

Setiap pergantian kepala daerah membawa angin perubahan. Visi, misi, dan program prioritas yang baru menuntut birokrasi yang tidak hanya siap bekerja, tapi juga sejalan secara arah dan semangat. Namun, realitas ini seringkali berbenturan dengan sistem kepegawaian yang melindungi pejabat struktural, terutama pejabat pimpinan tinggi pratama (JPT Pratama) yang menurut regulasi memiliki masa jabatan maksimal lima tahun.

Di sinilah sering muncul dilema. Kepala daerah ingin berlari cepat, menggenjot kinerja organisasi, dan memperbaiki kualitas layanan publik, namun dihadapkan pada keterbatasan ruang untuk memilih timnya sendiri.

Bagaimana mungkin program kerja baru bisa dijalankan maksimal jika pejabat yang memimpin organisasi perangkat daerah tidak selaras secara visi maupun kemampuan?

Meski begitu, penggantian JPT Pratama sebelum masa jabatan lima tahun sejatinya bukan hal yang tabu atau terlarang. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN membuka kemungkinan itu dalam Pasal 117 ayat (2), yang menyatakan: "Pejabat Pimpinan Tinggi dapat diberhentikan sebelum masa jabatan lima tahun apabila tidak menunjukkan kinerja yang memuaskan."

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, yang telah diubah dengan PP Nomor 17 Tahun 2020, juga memberikan ruang evaluasi yang fleksibel. Pasal 143 ayat (1) menyebutkan bahwa "Evaluasi terhadap Pejabat Pimpinan Tinggi dilakukan paling lama setelah lima tahun atau lebih cepat apabila diperlukan."

Sementara Pasal 144 ayat (1) menegaskan bahwa hasil evaluasi tersebut dapat menjadi dasar untuk mempertahankan, memutasi, atau memberhentikan pejabat dari jabatannya.

Tak hanya itu, PermenPANRB Nomor 15 Tahun 2019 menegaskan pada Pasal 15 ayat (1) bahwa "Penggantian JPT Pratama dapat dilakukan berdasarkan hasil evaluasi kinerja dan/atau kebutuhan organisasi."

Bahkan, dalam Surat Edaran MenpanRB Nomor 19 Tahun 2023, ditegaskan bahwa mutasi pejabat dalam waktu kurang dari dua tahun diperbolehkan jika terdapat kebutuhan strategis atau ketidaksesuaian antara pejabat dengan arah kebijakan baru daerah.

Solusi dari Kementerian PANRB pun telah ditegaskan secara resmi. Deputi SDM Aparatur Kementerian PANRB, Alex Denni, menyatakan dalam siaran pers resmi tahun 2023 bahwa: “Kepala daerah harus diberikan ruang untuk menyusun tim kerja yang mendukung pencapaian visi-misinya, selama tetap menjaga prinsip sistem merit dan dilakukan dengan mekanisme job fit yang sah.”

Lebih lanjut, Kementerian PANRB juga mendorong agar setiap rotasi jabatan struktural disertai dokumen evaluasi kinerja dan hasil asesmen kompetensi, agar tetap sesuai dengan koridor tata kelola ASN.

Salah satu mekanisme yang kini banyak digunakan dan terbukti efektif adalah job fit. Job fit merupakan uji kesesuaian antara pejabat yang sedang menjabat dengan jabatan yang diembannya, dilihat dari aspek kompetensi, capaian kinerja, dan keselarasan arah kebijakan. Dalam praktiknya, job fit menjadi jalan tengah yang legal dan elegan bagi kepala daerah baru untuk menyusun ulang timnya tanpa melanggar sistem merit.

Proses job fit yang dilaksanakan secara objektif, dengan melibatkan asesor independen dan didukung dokumen evaluasi yang kuat, dapat memberikan hasil yang kredibel. Pejabat yang dinilai masih layak dapat dipertahankan, sementara yang tidak cocok bisa dimutasi atau diganti sesuai rekomendasi tim penilai. Persetujuan dari Komisi ASN menjadi bagian penting agar proses ini mendapat legitimasi dan tidak menimbulkan konflik hukum di kemudian hari.

Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian PANRB, Alex Denni, dalam wawancara yang dimuat Harian Kompas (2023), menyebut bahwa job fit seharusnya dimaknai sebagai solusi strategis. Menurutnya, "Pejabat publik harus mampu menjawab tantangan zaman dan selaras dengan arah kepemimpinan. Jika tidak, wajar jika kepala daerah melakukan penyesuaian secara terukur dan sah."

Tidak sedikit kepala daerah yang akhirnya berhasil membentuk tim kerja yang solid dan efektif melalui pendekatan ini. Laporan Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun 2022 juga menegaskan bahwa fleksibilitas kepala daerah dalam menata ulang birokrasi sangat menentukan efektivitas pembangunan daerah.

Namun demikian, penting untuk menegaskan bahwa job fit bukan sekadar alat untuk mengganti orang. Ia harus dimaknai sebagai bagian dari strategi reformasi birokrasi, yang tujuan akhirnya adalah memperkuat kinerja organisasi, mempercepat pelayanan, dan menghadirkan pemerintahan yang responsif.

Dalam konteks inilah, kepala daerah baru perlu menyusun narasi publik yang kuat agar langkah-langkahnya dipahami sebagai ikhtiar memperbaiki birokrasi, bukan sekadar rotasi politis.

Ketika dilakukan dengan niat baik, prosedur yang transparan, dan landasan hukum yang kokoh, job fit bisa menjadi jembatan menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik.

Kepala daerah baru tak perlu ragu untuk melangkah, selama tetap berada dalam rel yang sah dan menjunjung tinggi prinsip profesionalitas ASN.

Jadi..jangan sampai masih ada lagi kesan Kepala Daerah "tersendara" oleh kondisi yang ada. Disinilah pentingnya kepala BKPSDM Kabupaten/Kota, memberikan informasi yang utuh kepada Kepala Daerahnya. Jika masih ragu, ada baiknya juga berkoordinasi langsung dengan kementerian terkait (Kemenpan-RI).

Reformasi birokrasi tidak harus menunggu perubahan besar di tingkat nasional. Ia bisa dimulai dari keberanian di daerah, dari upaya memperbaiki tim kerja, dan dari keputusan tepat menempatkan orang-orang terbaik di posisi yang paling tepat. Di sinilah esensi kepemimpinan kepala daerah diuji: bukan sekadar memimpin, tetapi juga menata ulang, merapikan, dan mempercepat.

Read Entire Article
Karya | Politics | | |