OPINI - Setiap kepala daerah datang dengan visi dan tantangan baru. Untuk mewujudkannya, mereka membutuhkan tim kerja yang selaras, tangguh, dan siap bergerak cepat. Di sinilah pentingnya ruang manajerial yang sah: uji kesesuaian atau job fit.
Mekanisme ini bukan hal baru, tapi kini semakin relevan pasca Pilkada 2024. Job fit memberi keleluasaan kepada kepala daerah untuk mengevaluasi para pejabat pimpinan tinggi pratama, memastikan bahwa mereka yang duduk di jabatan strategis benar-benar sesuai dengan arah pembangunan lima tahun ke depan.
Regulasinya jelas. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 jo. PP Nomor 17 Tahun 2020, kepala daerah diberi kewenangan melakukan mutasi atau pemberhentian jabatan sebelum masa lima tahun berakhir, selama melalui mekanisme job fit dan mendapat persetujuan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Ini bukan ruang bebas tanpa batas, tetapi ruang kendali yang legal dan bertanggung jawab.
Ketua KASN, Agus Pramusinto, menegaskan bahwa job fit justru merupakan salah satu cara untuk memastikan birokrasi daerah tetap adaptif. “Kepala daerah harus diberi keleluasaan menempatkan orang-orang yang tepat, selama dijalankan sesuai prinsip merit, ” ujarnya dalam sebuah diskusi publik, April 2025.
Beberapa daerah telah memanfaatkan mekanisme ini dengan cermat. Di Lampung Selatan, hasil job fit pada Maret 2025 menjadi dasar penyegaran jajaran kepala dinas demi memperkuat sektor pelayanan dasar dan infrastruktur. Di Balikpapan, dua pejabat digeser ke posisi yang lebih relevan dengan kompetensi mereka setelah melalui asesmen objektif. Prosesnya melibatkan asesor independen.
Pemberhentian dari jabatan bukan berarti kehilangan status sebagai ASN. Justru, dalam kerangka job fit, pejabat yang digeser tetap dapat ditempatkan di jabatan fungsional atau peran strategis lain yang lebih sesuai. Ini adalah bentuk penataan, bukan penyingkiran.
Dalam konteks ini, job fit berfungsi seperti pemetaan ulang—menempatkan setiap orang di posisi yang paling tepat agar mesin organisasi berjalan lebih efisien. Tantangan daerah begitu kompleks: kemiskinan, digitalisasi, investasi, pelayanan publik. Tidak cukup hanya dengan loyalitas. Dibutuhkan kompetensi, fleksibilitas, dan kesediaan untuk bekerja dengan kecepatan yang baru.
Gubernur Jawa Tengah, dalam pidato awal masa jabatan tahun ini, menyatakan pentingnya "menyusun ulang orkestrasi birokrasi" agar tidak ada yang fals saat langkah dipercepat. “Saya bukan mengganti karena tidak suka, tapi karena kita butuh gerak yang padu, ” katanya, disambut respons positif dari publik.
Job fit juga merupakan wujud keadilan organisasional. Evaluasi berbasis kinerja dan kompetensi mendorong setiap pejabat untuk terus berkembang, dan tidak terjebak pada zona nyaman jabatan. Ini menghidupkan kembali semangat meritokrasi dalam birokrasi daerah.
Kepala daerah yang berani melakukan job fit secara sah dan transparan justru menunjukkan kepemimpinan yang matang. Mereka tidak sekadar mengisi jabatan, tetapi membentuk tim yang kompeten dan solid. Shingga, tidak terkesan bahwa kapala/wakil kepala daerah berjalan sendiri dan tidak disupport para Pejabat Tinggi Pratamanya. Para Pejabat yang bisa cepat bisa menyesuaikan dengan pola baru.
Dalam kerangka ini, pemberhentian dari jabatan bukan akhir dari karier, tapi bagian dari siklus dinamis. Demi satu tujuan besar : memastikan visi daerah tidak tinggal dalam pidato, tapi berjalan nyata lewat kerja kolektif yang efektif.
Oleh: Indra Gusnady