Royalti Musik: Dari Panggung Megah ke Sudut Warung Kopi

1 month ago 11

OPINI -   Gegap gempita panggung musik Indonesia rupanya menyisakan nada sumbang di luar gedung konser. Bukan soal kualitas lagu atau penampilan musisi, tapi urusan yang lebih sunyi—dan lebih panas: uang royalti. Polemik ini menyeruak lagi ketika tagihan royalti diduga melibatkan kafe, restoran, bahkan warung kopi kecil yang sekadar memutar musik untuk menemani pelanggan.

Di atas kertas, semua tampak rapi. Undang-Undang Hak Cipta memberi hak penuh kepada pencipta lagu untuk mendapatkan imbalan ketika karya mereka digunakan di ruang publik. Logika hukumnya sederhana: ada karya, ada nilai, ada hak yang mesti dibayar. Namun di lapangan, rumus ini berubah jadi silang pendapat antara idealisme hak cipta dan realitas dapur yang harus tetap mengepul.

Bayangkan sebuah kafe mungil di sudut kota. Musik bukanlah atraksi utama, melainkan latar yang menghangatkan suasana. Pemiliknya mungkin bahkan tak paham istilah “performing rights” atau “lisensi publik”. Yang dia tahu, pelanggan betah duduk lebih lama jika ada lagu mengalun pelan. Kini, dengan ancaman tagihan royalti, sebagian mulai memutar otak—atau memutar… keheningan.

Seorang pemilik rumah makan di Yogyakarta bercerita dengan wajah cemas. “Kalau benar harus bayar per lagu atau per bulan, kami pilih matikan musik. Orang ke sini mau makan gudeg, bukan nonton konser, ” katanya sambil tertawa hambar.

Situasi ini memberi efek domino yang jarang dibahas. Jika pengusaha kecil takut memutar lagu-lagu populer karena khawatir “terciduk” tagihan, mereka akan mencari jalan aman: memutar lagu-lagu non-copyright dari YouTube, memanfaatkan musik bebas royalti dari pustaka daring, atau—ini yang mulai mencuat—membuat lagu sendiri dengan bantuan kecerdasan buatan seperti Suno atau layanan AI serupa.

Kita bisa membayangkan konsekuensinya: lagu-lagu musisi Indonesia justru akan tersingkir dari ruang-ruang publik yang selama ini menjadi tempat promosi gratis. Alih-alih memperluas jangkauan pendengar, kebijakan yang kaku bisa membuat karya musik lokal terasing di rumahnya sendiri. Bahkan lebih ironis lagi, “suara” yang jelas-jelas ciptaan Tuhan—nyanyian burung di pagi hari atau siulan koki di dapur—mungkin suatu saat harus disensor, kalau-kalau dianggap meniru warna vokal penyanyi tertentu.

Bayangkan, kalau seorang pengamen yang bernyanyi dari kedai-kedai hanya untuk mencari sesuap nasi untuk keluarganya, apakah harus dikenakan pajak royalti juga?! Ironis.

Pengamat musik Bens Leo (alm.) pernah mengingatkan, “Hak cipta adalah soal keseimbangan: melindungi pencipta, tapi tidak mematikan ekosistem yang membuat musik hidup.” Kalimat ini seharusnya menjadi panduan, bukan sekadar catatan kaki. Sebab ekosistem musik bukan hanya panggung, label, dan aplikasi streaming; ia juga hidup di kursi rotan warung kopi, di meja makan rumah makan Padang, di sudut kafe indie.

Sayangnya, perbincangan di tingkat kebijakan sering melupakan konteks itu. Badan-badan pengelola royalti sibuk menghitung potensi pemasukan, tetapi jarang terlihat duduk di meja yang sama dengan pelaku usaha kecil. Di sisi lain, sebagian musisi memandang ini sebagai kemenangan perjuangan hak cipta yang telah lama diabaikan, tanpa menyadari potensi alienasi yang bisa timbul.

Bukan berarti hak cipta tak penting. Justru sebaliknya, ia adalah jantung keadilan bagi pencipta. Namun, cara penegakannya harus adaptif dan kontekstual. Memukul rata antara stadion konser dan kedai kopi jelas bukan resep yang sehat. Sebuah lagu bisa menghidupkan suasana, tetapi kebijakan yang salah kaprah bisa mematikan sumber kehidupan banyak pihak.

Ke depan, tanpa pendekatan yang bijak, kita mungkin akan melihat kafe-kafe memutar playlist generik tanpa rasa, restoran memutarkan musik instrumental tak berjiwa, atau malah hening total. Musik menjadi seperti barang mewah yang hanya bisa “dihidangkan” di ruang berbayar. Dan ketika itu terjadi, yang hilang bukan sekadar suara, tapi denyut kehidupan kota itu sendiri.

Pada akhirnya, musik adalah bahasa universal yang lahir dari kreativitas manusia—bukan dari algoritma tagihan. Melindunginya adalah kewajiban, tapi jangan sampai perlindungan itu berubah menjadi pagar kawat yang justru membatasi aliran kehidupan yang ia ciptakan. Sebab musik, seperti udara, seharusnya tetap bisa mengalun bebas… sebelum semua orang memilih untuk diam. Hidup tanpa musik dan bersama dalam kesunyian

 Oleh: Indra Gusnady

Read Entire Article
Karya | Politics | | |